Kamis, 05 Mei 2011

Krisis Pangan, Ironi Negeri Ini

Pangan, merupakan kebutuhan primer manusia yang tidak dapat ditawar-tawar lagi pemenuhannya. Pengabaian atas kewajiban pemenuhan pangan merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang akan menimbulkan dampak serius baik dalam skala individu maupun pada tatanan stabilitas sebuah negara.
Kendati merupakan kebutuhan primer, pengaturan atas pangan ternyata tidak lepas dari masalah. Meskipun dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 miliar manusia tanpa masalah sedikitpun, 826 juta manusia diseluruh dunia tengah menderita kekurangan pangan kronis (Rahman, Shukor, 2001, New Straits of Maaysia Times).
Krisis pangan sedang terjadi.
Hal tersebut disampaikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agricultural Organization/FAO) pada akhir tahun 2007. Naiknya harga pangan pokok hingga 75% di pasar dunia semenjak tahun 2000, menunjukkan bahwa krisis pangan benar-benar tengah terjadi. FAO juga memperingatkan bahwa 36 negara menghadapi krisis pangan, 21 diantaranya adalah negara-negara Afrika.
Bagaimana dengan Indonesia?
Keadaan tak berbeda, negeri kita tercinta pun tengah menghadapi masalah serupa. Di atas tanah subur dan limpahan kekayaan alam ini, 13,8 juta jiwa atau sekitar 6% dari jumlah penduduk menderita rawan pangan (World Development Indicator, 2007). Fakta tersebut diperkuat dengan kasus kelaparan dan kematian akibat gizi buruk yang terjadi di berbagai daerah. Kerawanan pangan masih menjadi masalah serius negeri ini. Pada tahun 2000, propinsi-propinsi Indonesia seperti NAD, NTT, Sulawesi Utara dan Selatan, Lampung, Bali, Jawa Timur, Riau, Kalimantan Selatan dan Jambi menderita rawan pangan hingga diatas 50%. Propinsi lumbung pangan nasional seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan pun tak luput dari ancaman kerawanan pangan ini. Paradoks memang, saat kita melihat bahwa kelaparan justru terjadi di tengah melimpahnya ketersediaan pangan. Contoh lain yang dapat kita lihat adalah ketika BPS melaporkan bahwa kita telah mencapai swasembada pangan pada tahun 2004, setahun kemudian terdengar kabar telah terjadi kelaparan kronis di 10 kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
Ketahanan Pangan Indonesia
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata, dan terjangkau.(Pasal 1 PP No.68 tahun 2002)
Ketahanan pangan berarti adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang sehat. Lebih jauh lagi, dalam konteks sebuah Negara,
kedaulatan pangan berarti terpenuhinya hak masyarakat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Dari pengertian diatas dapat terlihat bahwa kemampuan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan merupakan hal yang amat penting disamping ketersediaan pangan itu sendiri.
Ketahanan pangan suatu negeri tidaklah ditentukan dari melimpahnya ketersediaan pangan di negeri tersebut, melainkan dari kemampuan masyarakatnya untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka, baik kualitas maupun kuantitasnya (aksesibilitas yang tinggi terhadap pangan).
Secara umum, gambaran ketersediaan dan potensi negeri ini dalam hal pangan adalah luar biasa besar. Letak astronomis Indonesia yang berada tepat pada khatulistiwa, memberi rahmat bagi negeri tropis ini. Matahari yang bersinar sepanjang tahun dengan curah hujan yang tinggi menjadikan Indonesia negeri subur makmur dengan keanekaragaman hayati yang mampu memberi makan penduduknya. Untuk beras saja, jika dilihat dari data-data BPS, tidak ada masalah. Pada tahun 2007 produksi beras Indonesia mencapai 33 juta ton. Jumlah ini adalah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat yang mencapai 30 juta ton, dengan standar konsumsi beras 133 kg/kapita/tahun.
Namun pada kenyataannya, toh kelaparan tetap terjadi. Hal ini mengindikasikan ada yang salah dengan pengaturan pangan negeri ini, distribusi pangan yang buruk adalah salah satunya.
Globalisasi Pangan
Kelaparan di negeri ini tidak hanya terjadi karena kesalahan kebijakan lokal, tetapi lebih besar karena peran dunia internasional dalam permainan globalisasi pertanian, dimana kita terjebak di dalamnya. Indonesia merupakan anggota dari berbagai organisasi multilateral, termasuk WTO (World Trade Organization). Negeri ini dijuluki sebagai good boy, karena sikap patuhnya menjalani kebijakan-kebijakan yang didesain WTO, termasuk kebijakan di bidang pertanian yang disebut Agreement of Agriculture (AoA).
Melalui program structural adjustment dari Agreement on Agriculture (AoA) WTO, IMF dan Bank Dunia, mendesak tarif bea masuk pasar domestik yang sangat ramah impor, dan menyulap Indonesia menjadi negara berkembang paling liberal di dunia. Impor pun melonjak tinggi, sebaliknya, ekspor komoditas pertanian merosot. Sejak tahun 1994 Indonesia jatuh dari net food exporter country menjadi net importer country. Dari hari ke hari, angka ketergantungan impor atas berbagai komoditas pangan terus menanjak.
Skenario globalisasi menghancurkan pasar pertanian Indonesia, dan menggeser basis produksi pangan, dari produksi mandiri menjadi lebih pada impor. Enam tahun setelah AoA disepakati, impor beras melonjak sampai 664%. Impor gula, dalam kurun waktu yang sama, meroket sampai 356%. Di sisi lain, produktivitas dalam negeri semakin menurun karena adanya ‘keharusan’ pencabutan subsidi pupuk, benih, dan pestisida. AS mendominasi hampir semua produk impor pangan, disusul Cina dan Australia. Impor beras dan palawija pada tahun 2001 sebagian besar dipasok dari AS. Terbukanya pasar domestic lebar-lebar telah memaksa petani kita yang gurem, miskin dan tradisional untuk bertarung dengan petani Negara-negara maju yang kaya, modern dan ditopang dengan proteksi dan subsidi oleh negara-negaranya.
Aneh memang, disaat WTO dengan AoA-nya yang beraroma pasar bebas ‘memaksakan’ ketiadaan proteksi pertanian dan pangan terhadap Negara-negara berkembang, pada saat yang sama AS yang disebut-sebut sebagai ideologi pasar bebas justru melindungi pertaniannya dengan lebih dari 100 jenis UU yang detail seperti Sugar Act 1774, Agricultural Adjustment Act 1938, dll.
Sistem proteksi pangan yang dilakukan Negara-negara maju ini makin mengokohkan pertanian dan ketahanan pangan Negara-negara tersebut. Meyakinkan kemampuan mereka untuk terus mengekspor hasil-hasil pertaniannya ke pasar Indonesia yang telah diliberalisasi melalui AoA, dan makin mematikan potensi negeri ini untuk meraih ketahanan pangan.
Pertanyaannya adalah, mengapa hal serupa tidak dilakukan pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah-masalah pangan yang terjadi bertubi-tubi di negeri ini?? Pada KTM V WTO di Cancun pun, Indonesia menjadi inisiator G-33 yang justru menyetujui mekanisme globalisasi perdagangan, namun dengan syarat adanya SP (Special Product) dan SSM (Special Safeguard Mechanism) pada 4 jenis komoditas.
Dalam melawan globalisasi pertanian dan seluruh efek buruk yang ditimbulkannya, negeri ini hanya memerlukan satu kata kunci: kemandirian.
Negeri ini besar. Potensi plasma nutfah kedua terbesar di dunia yang dimiliki Indonesia menjadikan negeri ini mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa harus didikte oleh pihak lain. Optimalisasi potensi ini tentu dapat dilakukan sehingga Indonesia dapat memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri, tidak bergantung pada makanan ataupun pertanian impor. Oleh karena itu, kemandirian dalam menentukan kebijakan pertanian, baik dari sisi produksi untuk menjamin ketersediaan pangan, maupun dari sisi distribusi untuk menjamin aksesibilitas masyarakat terhadap pangan merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki negeri ini. Negara harus mandiri dalam menentukan kebijakan negerinya sendiri, bukan di bawah bayang-bayang badan perdagangan internasional ataupun korporasi kapitalisme global.
Karena Bangsa ini besar, dan mampu mandiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar